Minggu, 16 Januari 2011

DIABETES MELLITUS

DIABETES MELLITUS

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia. Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara. Walaupun belum ada survei nasional, sejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita DM ini semakin meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keatas pada seluruh status sosial ekonomi. Saat ini upaya penanggulangan penyakit DM belum menempati skala prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, walaupun diketahui dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit jantung kronis, hipertensi, otak, sistem saraf, hati, mata dan ginjal. DM merupakan salah satu penyakit degeneratif, dimana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria).

Diabetes Mellitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.

DEFINISI

Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa (gula sederhana) di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat.

Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi, meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. kadar gula darah yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dl darah. kadar gula darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dl pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat lainnya. kadar gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif.(4,5)

ETIOLOGI

Diabetes terjadi jika tubuh tidak menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan kadar gula darah yang normal atau jika sel tidak memberikan respon yang tepat terhadap insulin.

Ada 2 macam type DM :

  1. DM type I. atau disebut DM yang tergantung pada insulin. DM ini disebabkan akibat kekurangan insulin dalam darah yang terjadi karena 90% sel penghasil insulin (sel beta pancreas) mengalami kerusakan permanen. Terjadi kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan insulin secara teratur. Terjadi kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan insulin secara teratur. Gejala yang menonjol adalah terjadinya sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM type ini berat badannya normal atau kurus.

Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
Sebagian besar diabetes mellitus tipe I ini terjadi sebelum usia 30 tahun.

  1. DM type II atau disebut DM yang tak tergantung pada insulin. DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada/kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, 75% dari penderita DM type II dengan obesitas dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun. DM type II bisa terjadi pada anak-anak.

Penyebab diabetes lainnya adalah:

· Kadar kortikosteroid yang tinggi

· Kehamilan (diabetes gestasional)

· Obat-obatan

· Racun yang mempengaruhi pembentukan atau efek dari insulin (4,5)

GEJALA

Gejala klinis yang khas pada DM yaitu “Trias poli” yaitu :

* polidipsi (banyak minum),

* poli phagia (banyak makan)

* poliuri (banyak kencing),

yang sering disertai dengan keluhan sering kesemutan terutama pada jari-jari tangan, badan terasa lemas, gatal-gatal dan bila ada luka sukar sembuh. Kadang-kadang berat badan (BB) menurun secara drastis.

Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat badan.

Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakann atau penyakit yang serius.

Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dl), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik. (4,5,6)

KOMPLIKASI

Penyakit DM dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang membahayakan jiwa maupun mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

Komplikasi akut

  1. Komplikasi akut yang paling berbahaya adalah terjadinya hipoglikemia (kadar gula darah sangat rendah), karena dapat mengakibatkan koma (tidak sadar) bahkan kematian bila tidak cepat ditolong. Keadaan hipoglikemia ini biasanya dipicu karena penderita tidak patuh dengan jadwal makanan (diit) yang telah ditetapkan, sedangkan penderita tetap minum obat anti diabetika atau mendapatkan infeksi insulin. Gejala-gejala terjadinya hipoglikemia adalah rasa lapar, lemas, gemetar, sakit kepala, keringat dingin dan bahkan sampai kejang-kejang.
  2. Koma pada penderita DM juga dapat disebabkan karena tingginya kadar gula dalam darah, yang biasanya dipicu adanya penyakit infeksi atau karena penderita DM tidak minum obat/mendapatkan insulin sesuai dosis yang dianjurkan. Gejala dari hiperglikemia adalah rasa haus, kulit hangat dan kering, mual dan muntah, nyeri abdomen, pusing dan poliuria.

Karena sulit untuk membedakan komplikasi karena hipo atau hiperglikemia, maka dianjurkan kalau ada gejala-gejala seperti diatas pada penderita DM, lebih baik segera ditolong dengan diberikan air gula atau permen, kemudian penderita segera dikirim ke Rumah Sakit.

Komplikasi Kronis

Bila sudah terjadi komplikasi yang mengakibatkan tingginya kadar gula darah`dalam waktu lama seperti gangguan pada pembuluh darah otak (stroke), pembuluh darah mata (dapat terjadi kebutaan/retinopati diabetikum), pembuluh darah ginjal (Gagal Ginjal Kronik (GGK) sehingga harus dilakukan hemodialisa), selain upaya menurunkan kadar gula darah dengan obat antibiotik/insulin dan terapi diit, perlu pengobatan untuk komplikasinya. Diit juga ditujukan untuk mengurangi/menyembuhkan komplikasi tersebut (misalnya kadar kolesterol juga tinggi, diit diarahkan juga untuk menurunkan kadar kolesterol tersebut).

DIAGNOSA

Kritiria diagnosa untuk DM meliputi sebagai berikut :

v Glukosa plasma puasa ≥ 7.0 mmol /l atau ≥ 126 mg/dl

v Terdapat gejala- gejala diabetes ditambah KGD adrandom ≥11.1 mmol/ L atau

≥200 mg/ dl

v Glukosa plasma 2 jam setelah pemberian 75 g glukosa (oral glukosa tolerance test)≥11.1 mmol/L atau ≥ 200 mg / dl.

Kriteria ini harus ditetapkan dengan pengujian ulangan dihari yang berbeda, kecuali jika pasti hiperglikemia dengan compensasi akut metabolic. Berikut ini ada dua kategori antara ( risiko ) yang dapat ditunjukan :

v Glukosa puasa terganggu (impaired fasting glukosa) untuk glukosa palsma puasa terganggu jika antara 6.1 and 7.0 mmol / Latau 110 – 126 mg / dl

v Toleransi glukosa terganggu (impaired glukoasa toleranse) untuk tingkat glukosa ini antara 7.8 – 11.1 mmol/L atau 140 – 200 mg/dl setelah 2 jam pemberian 75 g glukosa murni lewat mulut

Seseorang dengan IFG atau IGT tidak lah DM, tetapi ini merupakan substansi resiko untuk berkembang menjadi DM tipe 2 dan penyakit jantung dan pembuluh darah dimassa yang akan datang.hemoglobin A1c ( HbA1c ), suatu class yang bermaafaat untuk mengetahui respon atau kemajuan terapi , tapi tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan penyaring (screning), atau diagnosa DM

PENGELOLAAN DM

1. Eduksi

2. Perencanan makanan

3. Latihan Jasmani

4. Obat-obatan(6,7)

Prinsip-prinsip dasar eduksi

§ Sampaikan informasi secara bertahap, mulai dari yangsederhana baru kemudian yang lebih kompleks

§ Hindari informasi yang terlalu banyak dalam waktu singkatr

§ Sesuaikan materi edukasi dengan masalah pasien

§ Perhatikan kondisi jasmani, psikologis, dan tingkat pendidikan pasien

§ Libatkan keluarga/ pendamping dalam proses edukasi

§ Berilah nasehat yang membesarkan hati dan hindari kecemasan

§ Gunakan alat Bantu dengar-pandang

§ Usahakan adanya kompromi tanpa ada paksaan

§ Diskusikan hasil laboratorium

§ Berikan motivasi/penghargaan atas hasil yang dicapai

Perencanaan makanan dianjurkan seimbang dengan komposisi energi dan karbohidrat, protein dan lemak, sebagai berikut : karbohidrat 60-70%, protein 10-15% dan lemak 20-25%. Untuk perhitungan klinis praktis dalam menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi memanfaatkan rumus brocca, yaitu : BB idaman = (TB-100)-10% dengan catatan untuk wanita <150cm style="" lang="SV">Prinsip pembagian porsi makanan sehari-hari disesuaikan dengan kebiasaan pasien dan diusahakan tersebar sepanjang hari, disarankan porsi terbagi 3.(6)

Tujuan utama dari pengobatan diabetes adalah untuk mempertahankan kadar gula darah dalam kisaran yang normal. Kadar gula darah yang benar-benar normal sulit untuk dipertahankan, tetapi semakin mendekati kisaran yang normal, maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara maupun jangka panjang adalah semakin berkurang. (4)

Seseorang yang obesitas yang menderita diabetes tipe II tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan berolah raga secara teratur. tetapi kebanyakan penderita merasa kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan olah raga yang teratur. karena itu biasanya diberikan terapi sulih insulin atau obat hipoglikemik per-oral.

Semua penderita hendaknya memahami bagaimana menjalani diet dan olah raga untuk mengontrol penyakitnya. mereka harus memahami bagaimana cara menghindari terjadinya komplikasi. mereka juga harus memberikan. perhatian khusus terhadap infeksi kaki dan kukunya harus dipotong secara teratur.penting untuk Pemeriksakan matanya supaya bisa diketahui perubahan yang terjadi pada pembuluh darah di mata.(4,6,7)

Jenis-jenis obat hipoglikemik oral(6)


Generic

Nama dagang

Insulin secretaqoque

Klorpropamid

Diabenese

Klorpropamid

Daonil & Eglucon

Glibenklamid

Minidiab dan glucotrol XL

Glipizid

Diamicron

Glikazid

Glurenorm

Glimepirid

Amaryl

Repaglinid

Novonorm

Nateglinid

Starlix

Glitazon

Rosiglitazon

Avandia dan actos

Penghambat glukoksidase

Acarbose

Glucobay

Biquanid

Metlormin

Glucophage dan diabex

Terapi sulih insulin

Pada diabetes tipe I, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan insulin pengganti. pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui suntikan, insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per-oral (ditelan). bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang dalam penelitian. pada saat ini, bentuk insulin yang baru ini belum dapat bekerja dengan baik karena laju penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya. insulin disuntikkan dibawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya di lengan, paha atau dinding perut. digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak terasa terlalu nyeri. insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan lama kerja yang berbeda:

insulin kerja cepat, contohnya adalah insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan paling sebentar. insulin ini seringkali mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20 menit, mencapai puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam.insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani beberapa kali suntikan setiap harinya dan disutikkan 15-20 menit sebelum makan.

Insulin kerja sedang, contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan. Mulai bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimun dalam waktu 6-10 jam dan bekerja selama 18-26 jam. Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan selama sehari dan dapat disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.

Insulin kerja lama, contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya baru timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam. sediaan insulin stabil dalam suhu ruangan selama berbulan-bulan sehingga bisa dibawa kemana-mana.(4,7)

PENCEGAHAN DM

A. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk menderita DM (lihat halaman 4). Tentu saja untuk pencegahan primer ini harus dikenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM dan upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.

Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer. Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan perlu memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.

B. Pencegahan Sekunder

Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan penyaring, namun kegiatan tersebut memerlukan biaya besar. Memberikan pengobatan penyakit sejak awal berarti mengelola DM dengan baik agar tidak timbul penyulit lanjut DM.

Dalam mengelola pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat.

Sistem rujukan yang baik akan sangat mendukung pelayanan kesehatan primer yang merupakan ujung tombak pengelolaan DM. Melalui langkah-langkah yang disebutkan di atas diharapkan dapat diperoleh hasil yang optimal, apalagi bila ditunjang pula dengan adanya tatacara pengobatan baku yang akan menjadi pegangan bagi para pengelola.(7)

C. Pencegahan Tersier

Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka pengelola harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80 - 325 mg) dapat dianjurkan untuk diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai penyulit makro-angiopati.

Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli dari disiplin lain seperti dari bagian ilmu penyakit mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatri dan lain sebagainya.(7)

DAFTAR RUJUKAN

1. Waspadji S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2001

2. Peranan Diit dalam Penanggulangan Diabetes, Available at www.depkes.com/makalah/pekanDm/pdf.

3. Diabetes Mellitus, Available at www.medicastore.com/diabetesmellitus

4. Diagnosis DM, Available at www.EijkmanInstitute.htm

5. Kasper D.L, Braunwald E, Fauci A.S, Hauser S.L, Longo D.L, Jameson J.L, eds, Harrison’s Principles of Internal Medicine, McGraw-Hill Inc, New York, USA, 2005,

6. Soegondo S, Pradana S, Subekti I, et all, Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, PB PERKENI, Jakarta, 2003 ; 1-50

7. Kadri, piliang S, Asjiah N, et all, Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia, Denpasar, 1998


SKLEROSIS SISTEMIK

SKLEROSIS SISTEMIK

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

Sklerosis sistemik (Skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ visceral serta kelainan mikrovaskuler. Penyakit ini berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama anti-sentromer dan anti sklero-70 (anti-Scl-70)1. Spektrum penyakit ini cukup luas, mulai dari kelainan yang disertai penebalan kulit yang luas dan berat, atau hanya penebalan kulit pada ekstremitas distal dan muka atau tanpa kelainan kulit sama sekali.2

Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio pada tahun 1753 di Napoli yang menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun. Hubungan skleroderma dengan fenomena Raynaud, pertama kali dilaporkan oleh Maurice Raynaud pada tahun 1865. kemudian pada tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa penyakit ini juga menyerang organ viseral. Pada tahun 1964, Goetz mengusulkan istilah Progressive Systemic Sclerosis yang menggambarkan lesi yang luas, baik di kulit maupun di organ viseral. Pada tahun 1964, Winterbauer mendiskripsikan salah satu varian dari skleroderma yang hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang disebut CREST Syndrome (calcinosis, Raynaud’s phenomenon, esophageal dysmotility, skerodactily, teleangiectasis). 3

Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, apalagi kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di Carolina Selatan mendapatkan prevalensi sebesar 19 – 75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 2,9 – 4 : 1. pada penelitian di Tennessee, ternyata jumlah penderita skleroderma pada wanita usia reproduksi (20 – 44 tahun) 15 kali jumlah penderita laki-laki pada usia yang sama, sedangkan pada wanita usia 45 tahun atau lebih, frekwensinya hanya 1,8 kali penderita laki-laki pada usia yang sama. 1,2,3

Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun penderita skleroderma pada kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa faktor lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya skleroderma, misalnya debu silika dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinil-klorida, epoksi-resin dan trikoroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan, juga diketahui berhubungan dengan timbulnya sklerosis sistemik. Pemaparan terhadap vinil-klorida diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akro-osteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan pemakaian bleomesin pada kanker testis, terutama bila dikombinasi dengan sis-platinum, ternyata berhubungan dengan timbulnya skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru. 1,2,4

GAMBARAN PATOLOGI

Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan gambaran patologik yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan matriks ekstraseluler pada dermis, terutama kolagen I dan III, yang disertai penipisan epidermis dan hilangnya rate pegs merupakan gambaran patologik yang khas pada sklerosis sistemik. Hal ini menyebabkan penebalan kulit yang khas pada skleroderma. Pada stadium awal, tampak infiltrasi sel radang mononuklear di dalam dermis, terutama limfosit T dan sel mast. Sel-sel ini, banyak ditemukan mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik), kulit relatif aseluler. 5

Lesi vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ lainnya. Tunika intima arteri dan arteriol tampak berproliferasi sehingga lumen menjadi sempit. Dengan tehnik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler yang makin lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperlasia tunika intima, sehingga lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi. 5

Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan kelainan vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan skleroderma yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru yaitu penebalan tunika media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat berakhir sebagai gagal jantung kanan.

Stadium awal fibrosis paru pada sklerosis sistemik, merupakan reaksi radang akut yang ditandai oleh peningkatan makrofag alveolar dan sel radang polimorfonuklear. Pada penelitian in vitro, ternyata makrofag alveolar penderita sklerosis sitemik memproduksi fibronektin dalam jumlah yang banyak yang berperan dalam pertumbuhan fibroblas. Pada stadium lanjut, tampak deposisi kolagen dan komponen jaringan ikat lainnya di ruang interstitial alveolar sehingga pada akhirnya akan tampak jaringan fibrosa yang lebih banyak dibandingkan ruang udara alveolar. Akibatnya proses difusi di dalam paru-paru akan terhambat. 5,6

Pada jantung, sklerosis sitemik dapat menyerang perikardium dan miokardium. Kelainan pada perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan viseral yang akhirnya dapat berkembang menjadi perikarditis konstriktif. Pada miokardium, tampak proliferasi intima dan penyempitan pembuluh darah koroner. Disekeliling pembuluh darah koroner, ditemukan banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul vasospasme dan infark miokard. 5,7

Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus proksimal dan kolon juga dapat terserang. Secara histologi, tampak gambaran fibrosis pada tunika propia dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat fibrisis maka peristaltik usus akan berkurang. Akibat fibrosis, atropi lapisan otot dan berkurangnya peristaltik, akan timbul divertikel di kolon dengan mulut yang lebar. Pada esofagus dapat timbul Barrett’s esophagus (gastrikasi esofagus distal). Walaupun demikian, insiden adenokarsinoma esofagus pada keadaan ini sangat rendah. 5,7,8

Pada ginjal akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika media dan redupikasi lamina elastika. Membran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran skerotik pada glomeruli, merupakan tanda khas infark korteks ginjal dan stadium akhir skleroderma. Pada sklerosis sistemik yang disertai kelainan ginjal, sering didapatkan hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisik eritrosit yang beredar pada gangguan sirkulasi renal yang berat. 8

Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosa perivaskuler yang menyebabkan penurunan kekuatan otot dan peningkatan enzim otot dalam serum yang ringan. Selain itu dapat juga terjadi kelainan seperti yang tampak pada poli dan dermatomiositis yaitu infiltrasi limfosit perivaskuler, nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara klinik akan tampak kelemahan otot proksimal dan peningkatan enzim otot serum yang bermakna. Pada tendon akan tampak deposisi fibrin dalam sarung tendon, sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat timbul kontraktur fleksi, terutama pada jari-jari. 5

GAMBARAN IMUNOPATOLOGI

Berbagai kelainan imunitas humoral dan seluler, tampak terjadi pada penderita sklerosis sistemik. Pada umumnya kelainan imunitas ini menggambarkan proses autoimun yang sedang terjadi yang menghasilkan berbagai autoantibodi terhadap berbagai sel dan konstituen jaringan.

Beberapa kelainan serologik yang nonspesifik adalah ditemukannya hipergammaglobulinemia poliklonal, krioglobulinemia, faktor rheumatoid dan uji VRDL yang positif palsu. 9

Pada 95% penderita sklerosis sitemik, didapatkan antibodi anti-nuklear (antinuclear antibodi, ANA). ANA spesifik terhadap DNA topoisomerase I (Anti-topoisomerase I, anti-Sel-70) didapatkan pada 20-30% penderita, dan separuhnya terdapat pada penderita sklerosis sistemik difus. Enzim DNA topoisomerase I sangat penting peranannya pada proses pembukaan gulungan DNA untuk replikasi dan transkripsi RNA. 5,9-13

ANA spesifik yang lain adalah anti DNA-histone-complex yang banyak ditemukan pada penderita sklerosis sistemik dengan fibrosis paru, anti Ku yang banyak ditemukan pada penderita sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi, anti PM-Sel yang banyak ditemukan pada penderita sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi dan kelainan ginjal, anti RNA-polimerase I, II dan III yang banyak ditemukan pada kelainan ginjal, anti U3-RNP yang berhubungan dengan kelainan jantung dan paru-paru, anti U1-RNP yang berhubungan dengan artritis dan hipertensi pulmonal dan ANA spesifik lainnya (table 1). 10,14,15,16

Autoantibodi lain yang sering ditemukan adalah antibodi antisentromer yang terdapat pada 30% penderita sklerosis sistemik yang terbatas dan CREST Syndrome. Ada 3 antigen sentromer yang spesifik pada penderita sklerosis sistemik yaitu CENP-A (17/19 kDa protein), CENP-B (80 kDa protein) dan CENP-C (120 kDa protein). Adanya autoantibodi terhadap antigen sentromer menunjukkan tingginya pemecahan kromosom. 5,10,13

Autoantibodi lain yang sering ditemukan pada CREST Syndrome adalah antibodi anti-mitokondrial yang merupakan tanda khas adanya sirosis bilier primer. 9

Antibodi lain terhadap self-protein adalah antibodi anti-kolagen tipe I,III,IV dan VI. Antibodi anti-kolagen tipe IV berhubungan dengan beratnya kelainan paru pada sklerosis sistemik. Selain itu juga dapat ditemukan Circulating Imune Complex (CIC) yang berhubungan dengan perjalanaan penyakit yang lama. 5

Sedangkan penelitian Endo dan kawan-kawan mendapatkan adanya antineutrophilic cytoplasmic antibodies (ANCA), yang berhubungan dengan gagal ginjal dan perdarahan paru. 16

Sampai saat ini belum diketahui apa dan bagaimana peranan antibodi terhadap material inti sel pada patogenesis sklerosis sistemik. Salah satu dugaan adalah bahwa ANA turut berperan pada perusakan sel endotelial. 5

Selain kelainan imunitas humoral, juga terjadi kelainan imunitas seluler pada sklerosis sistemik. Secara umum didapatkam limfopenia dengan rasio sel T dan sel B yang normal, tetapi didapatkan peningkatan rasio sel T penolong (T-4) terhadap sel T penekan (T-8+). Selain itu juga terdapat penurunan kadar sel NK (Natural Killer) yang pada permukaannya terdapat antigen T-8+. Sel-sel inflamasi mononuklear banyak terkumpul pada lapisan dermis penderita sklerosis sistemik dan pada umumnya sel T penolong yang teraktivasi. Sel T berperan memproduksi interleukin-2 (IL-2) yang dapat merubah sel NK menjadi sel LAK (Lymphocite-activated killer) yang ternyata sangat penting pada kerusakan endotelial. Selain itu sel T juga berperan pada Graft-versus-host disease (GVHD) pada penderita yang menjalani transplantasi sumsum tulang. Kelainan ini ditandai oleh adanya fenomena Raynaud, sklerosis dermal (terutama pada jari) dan kelainan vaskuler. 5,9,17

Tabel 1 : Kelainan imunitas humoral pada penderita sklerosis sistemik 9

Abnormalitas humoral

Persentase

Hipergamaglobulinemia poliklonal

Faktor rheumatoid

Antibodi antinuklear (ANA)

Anti DNA-topoisomerase I (Anti-Sel-70)

Anti DNA-histone-complex

Anti nukleolar 7,2-RNP (anti Th-RNP & anti To-RNP)

Anti U3-RNP-associated fibrillarin

Anti U-1 RNP

Anti RNA-polymerase I,II,III

Anti Ku

Anti PM-Sel (PM-1)

Anti SS-A (Ro) dan SS-B (La)

Anti Sel-4

Anti Sel-6

Antibodi antisentromer

Antibodi antimitokondrial

Antibodi antikardiolipin

Antibodi anti-kolagen tipe I

Antibodi anti-kolagen tipe IV

Circulating immune cimplex (CIC)

30%

30 – 50%

95 %

5%

5%

25%

86%

44%

55%

Fagosit mononuklear juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam patogenesis sklerosis sistemik, terutama makrofag alveolar. Sel-sel ini memproduksi berbagai sitokin seperti transforming growth factor-B (TGF-B), platelet-derived growth factor (PDGF), tumor necrosis factor (TNF), IL-1B, berbagai protease dan mediator lain yang penting pada patogenesis sklerosis sistemik. 5,9

Sel lain yang banyak ditemukan di dalam dermis penderita sklerosis sistemik adalah sel mast. Sel ini berperan dalam memproduksi berbagai mediator seperti triptase yang dapat merusak sel endotel, serta histamin yang dapat merangsang proliferasi dan sintesis matriks fibroblas dan menyebabkan retraksi sel endotel. 9

Berbagai sitokin meningkat kadarnya pada penderita sklerosis sistemik, seperti fibronektin, IL – 1, IL – 2, PDGF, TGF-B, Connective-tissue activating peptidase (CTAP), endotelin dan interferon-gamma (IFN-g). 5,18

Tabel 2 : Berbagai sitokin yang berperan pada penderita sklerosis sistemik 5

Jenis Sitokin

S u m b e r

Peranannya pada patogenesis

Fibronektin

Fibroblas, sel endotel, makrofag, hepatosit

Kemoatraktan monosit & fibroblas, mitogen fibroblas

IL-1

Makrofag, sel endotel, limfosit, fibroblas, sel epitel, osteosit, osteoblas, keratinosit

Mitogen fibroblas, merangsang sintesis kolagen

IL-2

Sel T

Mengaktifkan sel NK menjadi sel LAK

PDGF

Trombosit, fibroblas, makrofag

Mitogen fibroblas

TGF-B

Megakariosit, makrofag, sel epidermal, fibroblas dan sel T

Merangsang sintesis kolagen, merangsang sintesis fibronektin, menghambat pertumbuhan sel endotel, mitogen fibroblas indirek, kemoatraktan fibroblas & monosit merangsang sekresi IL-1

CATP

CATP I : limfosit

CATP III : trombosit

CATP V : sel mesenkimal

Mitogen fibroblas, meningkatkan sintesis glikosaminoglikan

TNF

Makrofag, sel T, sel B, sel NK

Merusak endotel

Endotelin

Sel endotel

Vasokonstriktor

IFN-g

Sel T, sel NK

Aktifator makrofag, diferensiasi sel T menjadi sel T sitolitik, pertumbuhan sel B

FAKTOR GENETIK

Faktor keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik adalah jenis kelamin, dimana didapatkan rasio jenis kelamin wanita dan pria berkisar antara 2 : 1 sampai 20 : 1. walaupun demikian peranan hormon sex pada patogenesis penyakit ini tidak diketahui. 19

Hasil penelitian mengenai hubungan antara sklerosis sistemik dengan antigen MHC (Major Histocompability Complex) menunjukkan perbedaan yang bermakna antara satu peneliti dengan peneliti dari negara lain. Penelitian di Inggris menunjukkan hubungannya dengan HLA-A1, B8, DR3 dengan DR5 dan dengan DRw52, sedangkan penelitian di Amerika Serikat tidak menunjukkan hubungannya dengan HLA-DR5. Penelitian di Jepang menunjukkan hubungannya dengan HLA-Bw52, DR2 dan DR4. 4,12,19,20

Gen lain yang dilaporkan juga berhubungan dengan sklerosis sistemik adalah alel C4-null (C4 AQO dan C4 BQO). C4 AQO dikatakan banyak terdapat pada penderita sklerosis sistemik yang mengidap gen HLA-DR3. 19

Faktor genetik lain yang tampak pada penderita sklerosis sistemik adalah instabilitas kromosom dimana terdapat peningkatan pemecahan kromosom. 19

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekwensi autoantibodi pada berbagai grup etnik ternyata berbeda. Antibody anti sentromer banyak terdapat pada orang berkulit putih di Amerika dan tidak pernah pada orang berkulit hitam. Antibodi anti U1-RNP, anti RNA polimerase I, II, III dan anti U3-RNP banyak didapatkan pada orang Jepang, orang kulit putih dan kulit hitam. 21

PATOGENESIS

Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga sesuatu faktor pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan kerusakan-kerusakan sel endotelial. Kerusakan sel endotelial akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit mengeluarkan berbagai mediator seperti PDGF, TGF-B dan CATP-III yang akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sintesis matriks oleh fibroblas. Aktivasi sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sintesis matriks. 5

Secara skematis, patogenesis sklerosis sistemik dapat digambarkan seperti pada gambar 1.


FENOMENA RAYNAUD & KELAINAN VASKULER

Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (polar, sianosis, eritema) yang terjadi sebagai respons terhadap lingkungan yang dingin atau stress emosional. Walaupun perubahan yang spesifik umumnya terjadi pada jari tangan, tetapi dapat juga mengenai ibu jari kaki, daun telinga, hidung dan lidah. Pada fase polar dan sianosis, penderita akan merasa nyeri dan kaku, sedang pada fase hiperemis, penderita akan merasa seperti terbakar. 3

Fenomena Raynaud dapat dijumpai pada beberapa penyakit kolagen yaitu 95% pada penderita sklerosis sistemik, 91% pada penderita Mixed Connective Tissue Diseases (MCTD) dan 40% pada penderita lupus eritematosus sistemik. Selain itu, fenomena Raynaud juga dapat dijumpai pada berbagai trauma akibat perkerjaan (vibrasi, mikrotrauma, vinil klorida), efek samping obat (penghambat reseptor-beta), kelainan onkologik dan hematologik (disglobulinemia, kelainan mieloproliferatif, sindrom paraneoplastik) dan hipotiroidisme. Populasi fenomena Raynaud pada populasi umum tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan sekitar 10 – 20 %. Fenomena Raynaud pada penyakit kolagen terutama pada sklerosis sistemik umumnya berlangsung lama sebelum seluruh gejala penyakit kolagen tersebut timbul, sehingga kadang-kadang sulit membedakannya dengan fenomena Raynaud primer yang tak diketahui penyebabnya. 3,22,24

Table : 3 Perbedaan Fenomena Raynaud Primer dengan Fenomena Raynaud

pada Sklerosis Sistemik.23

Fenomena Raynaud Primer

Sclerosis Sistemik

· Perempuan : Laki-laki

· Umur mula timbul

· Frekwensi serangan perhari

· Faktor pencetus

· Proliferasi intimal

· Antibodi antinuclear

· Antibodi antisentromer

· Antibodi anti-Sel-70

· Kapilaroskopi abnormal

· Aktifasi trombosit in vivo

20 : 1

Pubertas

Ø 10 x

Dingin, emosi

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

4 : 1

Ø 24 tahun

Ø 5 x

Dingin

Positif

90 – 95%

50 – 60%

20 – 30%

Ø 95%

Ø 75%

Fenomena Raynaud merupakan gejala awal dari 70% penderita sklerosis sistemik. Sebagian kecil (5%) dari penderita sklerosis sistemik yang tidak mengalami fenomena Raynaud umumnya laki-laki dan mempunyai prognosis yang buruk karena risiko yang tinggi untuk mendapatkan kelainan ginjal dan miokardial. 23,24

Berbagi faktor turut-turut berperan pada patogenesis fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik. Sel endothelial yang rusak akan mengaktifkan trombosit. Trombosit yang diaktifkan akan menghasilkan vasokonstriktor, seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-Az (Tx-Az) dan ADP. Untuk mengatasi hal ini, sel endothelial yang masih utuh akan menghasilkan vasodilator seperti prostasiklin, Monoamineoxidase (MAO) dan endothelium-dependent relaxation factor (EDRF). Tetapi sel endothelial yang rusak tidak dapat bereaksi terhadap vasodilator tersebut. Selain itu sel endothelial yang rusak juga menghasilkan vasokonstriktor endothelin-1. akibatnya akan terjadi vasokonstriksi. Penyempitan lumen akan makin diperberat oleh adanya hiperplasi intima. Selain itu pada sklerosis sistemik juga terjadi gangguan deformabilitas eritrosit, sehingga vasokonstriksi darah akan meningkat dan oklusi pembuluh darah akan makin berat. 3

Beratnya fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik ditandai dengan timbulnya iskemi jari yang akan diikuti oleh ulserasi dan gangren. 2

Gambaran fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan arteriol pada organ viseral, sehingga timbul berbagi kelainan pada organ tersebut. Perubahan yang terjadi pada mikrosirkulasi meliputi timbulnya celah diantara sel endotel, vakuolisasi dan pembengkakan sel endotel, nekrosis seluler, duplikasi lamina basalis dan infiltrasi seluler perivaskuler oleh limfosit, plasmosit dan makrofag. Kelainan vaskuler ini menyebabkan penderita sklerosis sistemik sangat rentan terhadap perubahan hemodinamika, dimana hipovolemi ringan dapat mencetuskan krisis renal, sedangkan hipervolemia akan mencetuskan edema pulmonal. 3,23

Kerusakan vaskuler pada sklerosis sistemik akan menyebabkan peningkatan kadar berbagai petanda seperti faktor von Willebrand, trombomodulin, ICAM – 1 (interleukin adhesion malecule – 1) serum dan ELAM – 1 (endhotelial leucocyte adhesion molecule – 1) serum. Peningkatan kadar faktor van Willebrand berhubungan dengan progesifitas fenomena Raynaud, keterlibatan banyak organ dan tingginya angka mortalitas. 23

Pada sklerosis sistemik juga didapatkan gangguan fibrinolisis, karena kerusakan sel endotel menyebabkan penurunan sintesis aktivator plasminogen dan berbagai faktor pro dan antikoagulan. 23

Secara non-invasif, mikroangiopati pada sklerosis sistemik dapat diperiksa dengan kapilaroskopi lipat kuku. 22

KELAINAN KULIT

Pada tahap awal akan tampak edema pada tangan dan jari tangan yang tidak disertai rasa nyeri. Kadang-kadang dapat disertai timbulnya sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome) akibat kompresi nervus medinus. Edema ini berhubungan dengan deposisi glikosaminoglikan di dalam dermis atau efek hidrostatik akibat kerusakan vaskuler.

Beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema akan diikuti dengan indurasi sehingga kulit menjadi tebal dan keras. Penebalan kulit akan mengenai jari tangan dan bagian yang lebih proksimal yaitu dorsum manus, lengan atas, muka dan akhirnya ke seluruh tubuh. Kelainan ini patognomonis untuk sklerosis sistemik karena hampir tidak pernah ditemukan pada penyakit lain. Umunya kelainan pada bagian distal tubuh lebih berat daripada di bagian proksimal tubuh. Bersamaan dengan kelainan tersebut, lipatan kelainan tersebut lipatan kulit akan menghilang, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan hiperpigmentasi.

Pada sklerosis sitemik yang difus, penebalan kulit akan menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada dinding dada dan abdomen sedangkan pada kelainan yang terbatas pada kulit akan didapatkan pada jari atau jari dan muka.

Pada sebagian kecil penderita (2%), dapat ditemukan tanpa kelainan kulit (Sklerosis sistemik sine skleroderma).

Pada fase awal indurasi, secara histologik akan tampak peningkatan serat kolagen pada dermis, hiperplasi dan hialinisasi subintimal arteriol, dan infiltrasi limfosit, terutama sel T.

Kulit yang menebal makin lama akan makin menebal. Tetapi kadang-kadang akan terjadi pelunakan yang biasanya dimulai dari bagian tubuh yang sentral. Jadi kulit yang mengeras terakhir akan membaik lebih dahulu.

Beberapa tahun kemudian, akan tampak bintik-bintik teleangiektasi, terutama pada muka, jari, lidah dan bibir. Teleangiektasis terutama terjadi pada subtipe yang terbatas (CREST Syndrome), tetapi dapat juga terjadi pada subtipe yang difus. Pada subtipe yang terbatas, juga dapat timbul kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat hanya berupa titik kecil, tetapi dapat juga berupa masa yang besar.

Pada stadium akhir, akan timbul atropi dan penipisan kulit terutama pada bagian ekstensor sendi yang kontraktur, sehingga dapat terjadi ulserasi akibat tarikan mekanik pada bagian itu. 3,7

KELAINAN SISTEMIK

Berbagai kelainan sistemik dapat timbul pada sklerosis sistemik yang umumnya terjadi akibat kelainan vaskuler pada organ yang bersangkutan.

Pada paru dapat timbul fibrosis paru dan atau kelainan vaskuler paru. Fibrosis paru umumnya terjadi pada kedua basl paru yang dapat dilihat jelas pada gambaran radiologik toraks. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan kapasitas difusi karbon monoksida dan pada akhirnya akan terjadi penurunan kapasitas vital (penyakit paru restriktif). Pada bilasan bronkoalveolar, akan ditemukan banyak sel radang terutama limfosit dan makrofag. Kelainan paru umumnya lebih berat pada penderita dengan antibodi antitopoisomerase – 1 dan anti U3 – RNP yang positif dan lebih ringan pada penderita dengan antibodi antisentromer yang positif. 6,16

Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil penderita, terutama pada subtipe terbatas dengan antibodi antisentromer yang positif.

Untuk mencegah perburukan fungsi, maka deteksi dini kelainan paru pada sklerosis sistemik harus dilakukan. Umumnya kelainan paru tidak memberikan gejala yang spesifik, kecuali setelah ada kelainan hemodinamika atau penurunan kapasitas vital yang berat. Untuk itu dianjurkan pemeriksaan uji fungsi paru secara berkala (3 – 6 bulan sekali) dan bila dicurigai terdapat penurunan fungsi paru, dilakukan tomografi dengan komputer (CT – Scan) dan bilasan bronkoalveolar. 16

Kelainan pada sistem gastrointestinal, dapat mengenai esofagus bagian distal dan saluran cerna yang lebih bawah. Pada esofagus distal akan terjadi dismotalitas motorik sehingga timbul disfagia dan refluks gastroesofageal. Peristaltik esofagus akan menurun dan pada pemeriksaan flouroskopi akan tampak hipomotalitas. Pada esofagus distal akan terjadi metaplasi mukosa (metaplasi Barret) yang merupakan predisposisi timbulnya adenokarsinoma esofagus, tetapi keganasan ini jarang terjadi pada sklerosis sistemik. Pada usus kecil akan terjadi hipomotalitas dan berkurangnya lapisan otot. Atropi pada lapisan mukosa dan otot usus kecil, akan menyebabkan udara masuk ke dinding usus sehingga timbul pnematosis intestinalis yang akan tampak pada gambaran radiologik. Pada kolon juga dapat terjadi atropi lapisan otot sehingga mengakibatkan timbulnya divertikel yang bermulut lebar yang khas untuk sklerosis sistemik. Hipomotalitas kolon akan menyebabkan konstipasi dan pada beberapa keadaan dapat terjadi atropi otot sfingter ani yang mengakibatkan inkontinensia alvi dan prolaps rekti. 3,7,8,16

Kelainan miokardial, jarang didapatkan pada sklerosis sistemik tetapi bila didapatkan akan meningkatkan angka mortalitas. Umumnya akan terjadi fibrosis pada sistem konduksi jantung, sehingga mengakibatkan timbulnya aritmia dan kematian jantung mendadak. Berbeda dengan oragan lain, kelainan pada pembuluh koroner jarang didapatkan pada sklerosis sistemik. Kadang-kadang dapat timbul perikarditis yang ditandai dengan penebalan perikardium parietal dan viseral yang berakhir dengan perikarditis konstriktif. Selain itu dapat juga terjadi gangguan fungsi ventrikel kanan sebagai akibat hipertensi pulmonal. 3,25

Pada ginjal, sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis renal skleroderma akibat hiperreninemia yang ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, insufisiensi renal yang progesif dan hemolisis mikroangiopatik. Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe yang difus dan sangat jarang terjadi pada subtipe yang terbatas. Krisis renal merupakan penyebab kematian yang utama pada sklerosis sistemik. Penyebab uatama kelainan ginjal adalah kelainan vasuker, terutama pada arteri arkuata dan interlobular. Pada dinding pembuluh darah tersebut terjadi hiperplasi mukoid subintimal yang akan berkembang menjadi nekrosis fibrinoid. 3,16,26

Pada persendian, dapat timbul poliartralgia terutama pada subtipe yang difus. Secara radiologik akan tampak gambaran atropati erosive. Pada falang distal, dista radius dan ulna, ramus mandibula dan permukaan superior iga posterior dapat terjadi osteolisis akibat hipovaskularisasi sehingga terjadi resopsi tulang pada tempat tersebut. 3,7

Pada otot, dapat terjadi atropi akibat keterbatasan pengunaan sendi. Miopati yang lain juga dapat terjadi yang ditandai oleh kelemahan otot, terutama otot proksimal dan peningkatan kadar ezim otot serum (keratin-kinase dan aldolase). Secara histologik akan tampak serat miofibril yang mengalami fibrosis. 3,7

Xerostomia ditemukan pada 20 – 30 % penderita sklerosis sistemik dan hal ini berhubungan dengan sklerosis atau infiltrasi limfosit pada kelenjar liur. Separuh dari penderita xerostomia memiliki antibodi terhada presipitin syogren yaitu SS-A (Ro) dan anti SS-B (La). 7,16

Tiroiditis Hashimoto dan fibrosis tiroid juga dapat ditemukan pada sklerosis sistemik dan hal ini akan menyebabkan hipotiriodisme. 7

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20 – 50 tahun. Pemeriksaan autoantibodi anti topoisomerase-1 dan anti sentromer harus dilakukan karena memiliki spesifitas yang baik pada sklerosis sistemik. Evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan. Bila keadaan meragukan, dapat dilakukan biopsy kulit. 27

Pada tahun 1980, Amerikan Rheumatism Association (ARA) menganjurkan kriteria pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresit. 27

Kriteria ini terdiri atas :

  1. Kriteria mayor :

Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetris pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.

Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen)

  1. Kriteria minor :
    1. Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada jari.
    2. Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada ujung jari atau hilangnya substansi jarinagan jari tersebut akibat iskemia.
    3. Fibrosis basal di kedua paru. Gambaran linier atau lineonoduler yang retikuler terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto toraks standard. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.

Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau lebih kriteria minor .

Secara klinik, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :

  1. Sklerosis sistemik difus, dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas distal, proksimal, muka dan seluruh batang tubuh.
  2. Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut, tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah CREST Syndrome (C=kalsinosis subkutan, R=fenomena Raynaud, E=dismotilitas esophagus, S=sklerodaktili, T= teleangiektasis).
  3. Sklerosis sistemik sine skleroderma, secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit, walaupun terdapat kelainan oragan dan gambaran serologik yang khas untuk sklerosis sistemik.
  4. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome, yaitu bila didapatkan kriteria yang lengkap untuk sklerosis sistemik bersamaan dengan kriteria lengkap untuk lupus eritrematosus sistemik, arthritis rheumatoid atau penyakit otot inflamasi.
  5. Penyakit jarinagn ikat yang tidak terdiferensiasi, yaitu bila didapatkan fenomena Raynaud dengan gambaran klinis dan/atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sistemik.

Table 4. Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas dan sklerosis sistemik difus 3

Sklerosis sistemik terbatas

Sklerosis sistemik difus

Fenomena Raynaud berlangsung dalam jangka waktu yang lama.

Pembengkakan jari, intermiten dalam jangka waktu yang lama.

Progesifitas lambat.

Dapat disertai artralgia ringan, jarang mengenai tendon.

Problem utama : ulkus jari, fibrosis esofagus, usus halus dan paru.

10% disertai hipertensi pulmonal dan fatal.

Antisentromer pada 50 – 90% kasus: Anti-topi-1 pada 10 – 15% kasus.

Fenomena Raynaud berlangsung dalam jangka waktu yang singkat; kelainan kulit timbul sebelum terjadi kelainan fenomena Raynaud.

Pembengkakan tangan dan kaki.

Progesifitas cepat.

Disertai artralgia/artritis, sindrom terowongan karpal.

Semua organ viseral dapat terkena.

Jarang disertai hipertensi pulmonal.

Antisentromer pada 5% kasus: Anti-topi-1 pada 20 – 30% kasus.

Ada beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai kelainan sistemik. Keadaan ini disebut skleroderma lokal dan harus dibedakan dengan sklerosis sistemik terbatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah morfea, skleroderma linier dan skleroderma en, coup de sabre. 27

Morfea adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pada bagian tubuh mana saja. Fenomena Raynaud sangat jarang didapatkan.

Skleroderma linier, umumnya didapatkan pada anak-anak, ditandai oleh perubahan skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atropi otot dan tulang dibawahnya.

Skleroderma en coup de sabre, merupakan varian skleroderma linier, dimana garis yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan terhadap Sklerosis Sistemik meliputi penyuluhan dan dukungan psikososial, pemberian golongan obat remitik dan terapi terhadap organ spesifik.

Penyuluhan dan dukungan psikologik memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan penderita sklerosis sistemik, karena perjalanana penyakit ini lama dan progresif.

Berbagai obat golongan remitif yang dapat diberikan pada penderita Sklerosis Sistemik adalah D-penisilamin, kolkisin, obat-obat imunosupresif dan sebagainya, tetapi hasilnya masih belum menggembirakan.

Fenomena Raynaud, merupakan gejala yang dominan pada sklerosis sistemik. Menghindari merokok dan udara dingin, serta menjaga tetap dalam keadaan hangat, biasanya cukup efektif untuk mengatasi fenomena Raynaud yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat, misalnya bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu aktivitas sehari-hari, maka dapat dicoba penggunaan vasodilator, misalnya nifedipin, prazosin atau nitrogliserin topical. Penggunaan nifedipin lepas lambat menunjukkan hasil yang baik dan efek hipotensif yang tidak terlalu besar. 28

Selain itu, nifedipin juga dapat memperbaiki perfusi miokard pada penderita sklerosis sistemik.29 Obat lain yang dapat dicoba untuk mengatasi fenomena Raynaud adalah Iloprost, suatu analog prostasiklin. Obat ini diberikan perdrip dengan dosis 3 mg/KgBB/menit, 5 – 8 jam/hari selama 3 hari berturut-turut. Selain untuk mengatasi fenomena Raynaud, obat ini juga dapat digunakan untuk mengatasi ulkus pada jari.30

Perawatan kulit sangat penting diperhatikan, apalagi bila sudah timbul ulkus. Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan bila ada infeksi skunder. Bila luka cukup dalam, mungkin dibutuhkan perawatan secara bedah, nekrotomi dan pemberian antibiotik parenteral.26

D-penisilamin, menunjukkan hasil yang cukup baik untuk mengatasi kelainan kulit pada sklerosis sistemik, walaupun dibutuhkan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama.31

Secara in vitro, Interferon-gamma dapat menghambat proliferasi fibroblas dan produksi kolagen. Pada beberapa kasus, obat ini dapat mengurangi kekakuan kulit, tetapi tidak efektif terhadap fenomena Raynaud.28

Obat lain yang dapat mempengaruhi transport prokolagen dan sekresi prokolagen oleh fibroblas adalah kolkisin. Tetapi masih harus diteliti efektifitasnya pada penggunaan jangka panjang.30 Demikian juga penggunaan ketotifen, suatu stabilisator sel mast: N-Asetil-sistein, suatu perangsang pemecahan kolagen, fotofaresis dan globulin antitimosit masih perlu diteliti efektifitasnya.30,31

Artralgia/arthritis dan tenosinovitis biasanya dapat diatasi dengan pemberian anti inflamasi non steroid. Bila nyeri tetap timbul, dapat dipertimbangkan pemberian injeksi steroid lokal atau steroid sistemik dosis kecil dalam jangka waktu yang singkat. Selain itu, fisioterapi yang agresif harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.27

Dismotilitas esofagus, akan menimbulkan keluhan heart-burn dan disfagia. Penderita dianjurkan untuk meninggikan kepalanya pada waktu berbaring, makan pada posisi tegak dengan porsi kecil dan sering. Biasanya pemberian antasid, antagonis – H2 dan obat sitoprotektif, cukup efektif untuk mengatasi keluhan nyeri yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat, dapat dianjurkan pemberian omeprazol. Obat prokinetik, dapat diberikan pada keadaan disfagia. Bila terdapat striktur esophagus, harus dilakukan dilatasi secaraberkala.7,28

Keterlibatan usus halus, akan menyebabkan gangguan pasase makanan dan meningkatkan pertumbuhan bakteri. Pada keadaan yang terakhir dianjurkan untuk mengunakan antibiotik yang berspektrum luas selama 2 minggu. Untuk mengatasi hipomotilitas usus dapat dicoba pemberian prokinetik. Bila terdapat konstipasi, harus diberikan pelunak feses dan diet tinggi serat. Bila hipomotilitas usus sangat berat dan timbul distensi abdomen, penderita harus dipuasakan untuk mengistirahatkan usus dan dilakukan dekompresi dengan pipa nasogastrik. Tindakan bedah harus dihindari karena akan mencetuskan ileus dan memperlama penyembuhan.7,28

Pnemonitis interstisial merupakan keadaan yang harus segera diatasi. Pemberian kortikosteriod atau siklofosfamid memberikan hasil yang cukup memuaskan.31,33

Hipertensi pulmonal tanpa kelainan interstisial paru mempunyai prognosis yang buruk, karena tidak ada satupun obat yang dapat mengatasi keadaan ini. 6

Krisis renal dengan hipertensi berat, merupakan komplikasi yang serius dengan angka kematian yang cukup tinggi. Dengan adanya obat inhibitor enzim pengkoncersi angiotensin, angka kematian dapat diturunkan secara drastis.28,30,31

PROGNOSIS

Angka harapan hidup 5 tahun penderita sklerosis sistemik adalah sekitar 68%. Harapan hidup akan semakin pendek dengan luasnya kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus, kematian biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena hipertensi pulmonal dan malabsorbsi.4

Penderita sklerosis sistemik mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan keganasan, terutama karsinoma payudara, paru dan limfoma non Hodgkin. Hal ini turut meningkatkan angka kematian penderita sklerosis sistemik.4

Satu hal yang unik adalah bahwa risiko timbulnya adenokarsinoma esofagus sangat rendah, walaupun terdapat metaplasi mukosa esofagus distal (metaplasi Barret). 3,7

Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk prognosis penderita Sklerosis Sistemik adalah usia kanjut ( > 64 tahun), penurunan fungsi ginjal (BUN <> 14 gr/dl atau kapasitas vital paksa <>

KESIMPULAN

  1. Sklerosis sistemik adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta kelainan mikrovaskuler.
  2. Secara patologik, Sklerosis sistemik akan memberi gambaran fibrosis kulit dan organ viseral lainnya disertai proliferasi tunika intima arteri dan arteriol.
  3. Sklerosis sistemik berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama antibodi anti sklero-70 dan antibodi anti sentromer. Faktor genetik pada kelainan ini masih belum jelas, walaupun banyak penelitian yang menghubungkan kelainan ini dengan gen C4 – null.
  4. Secara klinis, Sklerosis Sistemik memberi gambaran berupa fenomena Raynaud, fibrosis kulit dan manifestasi berbagai organ viseral akibat fibrosis dan kelainan vaskuler pada organ tersebut.
  5. Untuk diagnosis Sklerosis Sistemik, dapat digunakan criteria ARC untuk Sklerosis Sistemik.
  6. Penatalaksanaan Sklerosis Sistemik meliputi penyuluhan dan dukungan psikososial, pemberian golongan obat remitif dan terapi terhadap organ spesifik. Ada beberapa golongan obat remitif yang dapat diberikan pada Sklerosis Sistemik, tetapi hasilnya masih kurang menggembirakan.
  7. Beberapa prediktor prognosis yang buruk adalah usia lanjut, penurunan fungsi ginjal, anemia, penurunan kapasitas difusi CO pada paru, penurunan kadar protein serum total dan penurunan cadangan paru.

DAFTAR RUJUKAN

  1. LeRoy EC, Silver RM. Systemic sclerosis and related syndrome: Epidemiology, Pathology and Pathogenesis. In: Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ (eds). Primer on the Rheumatic Diseases. 10th ed. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia 1993: 118 – 20.
  2. Steen VD, Medsger TA. Epidemiologi and Natural History of Systemic Sclerosis. Rheum Dis Clin N Am 1990: 16 (1): 1 – 10.
  3. Seibold JR. Systemic Sclerosis: Clinical Features. In: Klippel JH, Dieppe P (eds). Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994: 8. 1-14.
  4. Silman AJ, Newmwn J. Genetic and Environmental Factors in Scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6(6): 607-11.
  5. Smith EA, LeRoy EC. Systemic Sclerosis: Etiology and Pathogenesis. In: Klippel JH, Dieppe P (eds). Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994: 9. 1-10.
  6. Silver RM, Miller KS. Lung involvement in Systemic Sclerosis. Rheuma Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 199-216.
  7. Medsger TA, Steen V. Systemic Sclerosis and Related Syndromes: Clinical Features and Treatment. In: Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ (eds). Primer on the Rheumatic Diseases. 10th ed. The Arthritis Foundation. Atlanta, Georgia 1993: 127-30.
  8. Sjorgen RW. Gastrointestinal Motility Disorders in Scleroderma. Arthritis Rheuma 1994; 37 (9): 1265-82.
  9. Postlethwaite AE. Early Immune Events in Scleroderma. Rheum Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 125-40.
  10. Reimer G. Autoantibodies Against Nuclear, Nucleolar and Mitochondrial Antigens in Systemic Sclerosis. Rheuma Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 169-84.
  11. McHugh NJ, Whyte J, Harvey G et al. Anti-topoisomerase I antibodies in Siliaca-associated Systemic Sclerosis: A Model for autoimmunity. Arthritis Rheum 1994; 37 (8): 1198-1205.
  12. Hietarinta M. Ilonen J, Lassila O et al. Association of HLA antigen with anti-Sel-70 antibodies and alinical manifestations of Systemic Sclerosis. Br J Rheumatol 1994; 33: 323-6.
  13. Weiner ES, Hildebrandt S, Senecal JL et al. Prognostic significance of anticentromere antibodies and anti-topoasomerase I antibodies in Raynaud disease: A prospective study. Arthritis Rheum 1991; 34 (1): 68-77.
  14. Sato S, Ihn H, Kikuchi K et al. Antihistone antibodies in Systemic Sclerosis: Association with Pulmonary Fibrosis. Arthritis Rheum 1994; 37 (3): 391-4.
  15. White B. Immunologic aspect of Scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 612-5.
  16. Wigley FM. Clinical aspects of systemic and localized scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 628-36.
  17. Fiocco U, Rosada M, Cozzi L et al. Early phenotypic activation of circulating helper memory T cells in scleroderma: correlation with disease activity. Ann Rheum Dis 1993; 52: 272-7.
  18. Postletwite AE. Connective tissue metabolism including cytokines in scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 616-20.
  19. Briggs D, Black C, Welsh K. Genetic factors in Scleroderma. Rheum Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 31-52.
  20. Genth E, Mierau R, Genetzky P et al. Immunogenetic associations of Scleroderma- related antinuclear antibodies. Arthritis Rheum 1990; 33 (5): 657-65.
  21. Kuwana M, Okano Y, Kaburaki J. Racial differences in the distribution of Systemic Sclerosis-related serum anti-nuclear antibodies. Arthritis Rheum 1994; 37 (6): 902-6.
  22. Carpentier PH, Maricq HR. Microvasculature in Systemic Sclerosis. Rheum Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 75-92.
  23. Kahaleh MB. Raynaud’s phenomenon and vascular disease in Scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 621-7.
  24. Kahaleh MB. Matucci-Cerinic M. Raynaud’s phenomenon and Scleroderma: Dysregulated Neuroendothelial Control of Vascular tone. Arthritis Rheum 1995; 18 (1): 1-4.
  25. Clements PJ, Lachenbruch PA, Furst DE et al. Cardiac score: A semiquantitative measure of cardiac invollement that improves prediction of prognosis in Systemic Sclerosis. Arthritis Rheum 1991; 34 (11): 1371-80.
  26. Clements PJ, Lachenbruch PA, Furst DE et al. Abnormalities of renal physiology in systemic sclerosis: A prospective study with 10-year follow up. Arthritis Rheum 1994; 37 (1): 67-74.
  27. Albar Z. Sklerosis sistemik. In: Soeparman (ed). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi kedua. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 1987: 747-52.
  28. Steen VD. Systemic Sclerosis: Management. In: Klippel JH, Dieppe PA (eds). Rheumatology. 1st ed. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994: 10.1-8.
  29. Duboc D, kahan A, Maziere B et al. The effect of nifedipine on myocardial perfusion and metabolism in Systemic Sclerosis: A positron emission tomographic study. Arthritis Rheum 1991; 34 (2): 198-203.
  30. Hoogen FHJ, Putte LBA. Treatment of Systemic sclerosis. Curr Op Rheumatol 1994; 6 (6): 637-41.
  31. Torres MA, Furst DE Treatment of Generalized Systemic Sclerosis. Rheum Dis Clin N Am 1990; 16 (1): 217-42.
  32. Steen VD, Lanz JK, Conte C et al. Therapy for severe interstitial lung disease in Systemic Sclerosis: A retrospective study. Arthritis Rheum 1994; 37 (9): 1290-6.
  33. Akesson A. Scheja A, Lundin A et al. Improved pulmonary function in systemic sclerosis after treatment with cyclophosphamide. Arthritis Rheum 1994; 37 (50): 729-35.
  34. Altman RD, Medsger TA, Bloch DA et al. Predictors of survival in Systemic sclerosis (Scleroderma). Arthritis Rheum 1991; 34 (4): 403-13.